contemplation

Pengalamanku Terjatuh di Sukamahi

9:41 PM

 Sukamahi, 24 Desember 2021

Aku bersiap-siap di kosanku untuk berangkat kerja. Pagi itu aku terbangun sekitar pukul 6, lalu aku bergegas untuk berdoa, mandi, dan berpakaian. Kulihat jam di handphone-ku sudah menunjukkan pukul 06.45, jadi aku terburu-buru memakan roti untuk sarapan, minum, lalu keluar dan mengunci pintu kamar. Kujejalkan kakiku ke dalam sepatu lalu berlari kecil ke luar kosan. Jam di handphone menunjukkan pukul 06.55. Sinar matahari langsung menerpa wajahku, membuatku menyipitkan mata karena silau.

Hari itu tepat sehari sebelum Natal dan keluargaku sedang pulang kampung.

Hush, pikirku. Bukan saatnya untuk memikirkan itu. Berangkat ke kantor agar tidak terlambat lebih penting untuk dipikirkan saat ini.

Aku bergegas menuju motorku yang kuparkir di depan kosan, duduk di atasnya, dan membawanya melaju menuju kantor. Estimasi perjalanan dari kosan ke kantor memakan waktu sekitar hampir 30 menit. Perjalanan itu membawaku melintasi berbagai lokasi, dari kompleks perumahan ke jalan raya luas menuju daerah pabrik.

Pikiran bahwa besok sudah hari Natal dan aku tidak akan bersama dengan keluargaku kembali terlintas di benakku saat membawa motor ke kantor. Aku tidak benar-benar sedih, tidak, tapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku tidak kesepian. Natal jadi satu momen keluarga yang dulu tidak begitu aku sadari hingga sekarang. Apalagi lima bulan terakhir ini terasa begitu berat kujalani di kantor. Lima bulan yang benar-benar menguras mental dan emosiku. Seandainya saja aku punya cuti...

Aku mengusir pikiran tadi dengan bernyanyi sambil mengendarai motor. Tidak ada gunanya mengasihani diri sendiri. Kecepatan motorku awalnya normal ketika baru keluar kosan, lalu melambat karena sedikit macet, kemudian menjadi lebih cepat ketika melewati jalan yang lebih lebar. 

Saat itu aku sudah berada di daerah Sukamahi, hanya tinggal 10 menit lagi sampai ke kantor. Di depanku ada mobil yang melaju agak lambat daripadaku, dan aku melihat ada celah di sisi kanannya untuk kuambil. Kuarahkan stang motorku ke kanan untuk mendahalui mobil di depan dengan kecepatan yang lebih tinggi... hanya untuk menemukan bahwa sisi kanan jalan tersebut tidak rata dan motorku persis melaju menuju lubang kecil di jalan itu.

Brak!!

Hal berikutnya yang kuketahui adalah aku berada dalam posisi setengah merangkak dan setengah terkapar di jalan, motorku terjatuh di sebelah kiriku. Jalan itu adalah jalan menuju daerah pabrik di mana banyak truk dan kendaraan lainnya yang sering melaju kencang. Refleks aku menoleh ke belakang untuk menerima takdirku.

Tapi tidak ada orang tuaku di sini.. apa kata mereka jika nanti mereka kembali dan mendapati anak perempuannya sudah tidak ada lagi?

Mobil di belakangku melaju semakin dekat dan mataku tertuju pada roda-rodanya yang berputar.

Ya Tuhan, aku berserah kepada-Mu.

Atau apakah ini akhirnya, Tuhan, setelah sekian lama aku menderita?

Roda-roda mobil itu terus berputar, namun melambat dan perlahan-lahan berhenti. Mobil itu berhenti beberapa meter tepat di belakangku.

Aku menghembuskan napas lega yang langsung digantikan dengan kernyit kesakitan karena nyeri di siku kanan dan kedua lututku. Orang-orang sekitar langsung membantu, ada yang menolongku berdiri dan ada yang membawakan motorku ke pinggir jalan.

"Kamu gapapa? Masih bisa bawa motor 'gak?", tanya seorang bapak yang membawa motorku ke pinggir jalan.

"Iya, Pak, gapapa. Cuma luka sedikit, saya masih bisa bawa motor, kok," jawabku sambil melihat kondisi siku kanan dan kedua lututku. Siku kananku nyeri tapi sekilas tidak terlihat terluka karena tertutup jaket, namun lutut kiriku terbuka dan berdarah; ternyata kain celanaku sobek karena bergesekan dengan aspal saat jatuh. Lutut kananku tetap tertutup kain celana namun terasa nyeri sekali.

"Hati-hati, Neng, di sini banyak lobang. Pelan-pelan bawa motornya ke kantor," kata bapak itu.

"Iya, Pak. Makasih banyak ya, Pak!" seruku sambil menyalakan motor dan mulai melaju pergi melanjutkan perjalanan ke kantor.

Kubawa motorku menuju kantor dengan perasaan hampa. Bingung. Kosong. Tidak ada jantung yang berdegup kencang. Perasaan yang sama yang kurasakan selama beberapa bulan belakangan ini di kantor.

Kalau mobil tadi tidak berhenti di belakangku, apa yang akan terjadi ya? Apakah semuanya akan lebih baik?

Sampai di kantor, aku menjalani pemeriksaan oleh tim K3 kantor dan lukaku dibersihkan oleh mereka. Aku disarankan untuk pulang jika tidak kuat, tapi aku memutuskan untuk tetap bekerja sampai tuntas hari itu karena ada persiapan penting yang perlu kulakukan. Sampai Malam Natal hampir tiba dan aku terburu-buru pulang untuk pergi ke Gereja dekat kosan.

Gereja penuh sesak, namun aku berhasil mendapatkan satu tempat duduk untuk beribadah di dalam Gereja. Sedikit terlambat, namun aku masih mendapat kesempatan untuk mengikuti penyalaan lilin dan mendengarkan khotbah. Aku menatap lidah api pada lilinku dengan sendu.

Aku tidak bisa memproses apa yang terjadi hari ini dengan benar; pikiranku terlalu penuh dengan segala hal yang selama ini terjadi dan harus aku hadapi. "Kenapa?" adalah pertanyaan yang tak kunjung kudapatkan jawabannya.

Kenapa, Tuhan?

Kenapa harus sesusah ini?

Kenapa aku jadi menangis hampir setiap hari?

Kenapa teman-temanku hidupnya lebih enak dariku?

Kenapa ini semua harus terjadi?

Kenapa tadi pagi aku harus jatuh dari motor?

Kenapa tadi pagi mobil itu berhenti di belakangku?

Kenapa aku harus sendirian di Malam Natal ini?

Tes.. tes.. tes.. air mataku jatuh di ibadah Malam Natal tanggal 24 Desember 2021.

***

Aku memang tidak mengingat khotbah yang dibawakan oleh pendeta di sana, tapi perenungan di Malam Natal itu adalah awal bagiku untuk memandang pada Tuhan. Keesokan harinya, di hari Natal, aku melihat ada satu playlist di Spotify-ku yang pernah kubuat di tahun 2020. Playlist itu tidak pernah kuputar sejak beberapa bulan setelah kubuat. Aku melihat salah satu lagu yang kusimpan di dalamnya berjudul Overcomer yang dinyanyikan oleh Mandisa. Aku pun memutar lagu itu.

You’re an overcomer Stay in the fight ‘til the final round You’re not going under ‘Cause God is holding you right now You might be down for a moment Feeling like it’s hopeless That’s when He reminds You That you’re an overcomer You’re an overcomer


Lagu itu yang menemaniku menjalani pekerjaan selama beberapa hari ke depan hingga akhirnya aku tidak dilanjutkan bekerja di sana. Banyak hal yang kualami selama menuntaskannya, terutama emosi dan mentalku yang tidak stabil. Aku melewati berbagai tahapan duka akan perpisahan dan penyesalan, tapi aku menjadi lega karena mendapatkan jawaban terbaik dari Tuhan.

Namun anxiety akibat "dipaksa" bekerja dan berbuah di bidang yang ternyata bukan passion-ku sangat menyiksaku walaupun aku sudah tidak bekerja di sana lagi; aku benar-benar tidak tenang saat membuka berbagai website lowongan kerja. Gemetar, takut, bingung, semua jadi satu. Masa depanku gimana, Tuhan? Aku harus gimana? Orang tuaku sudah menanyakan rencana selanjutnya mau bagaimana, tapi aku sama sekali tidak tahu. Yang aku tahu, aku terlalu lelah dengan segalanya dan aku ingin berhenti saja.

Konselorku menyarankanku untuk beristirahat selama sebulan dan merenungkan visi yang ingin kucapai di masa depan. Karena anxiety itu sangat menggerogotiku, aku mengikuti sarannya. Sebulan penuh aku tidak mencari lowongan kerja apa pun, bahkan ketika orang-orang memberikanku tawaran lowongan kerja karena tahu aku baru saja diberhentikan, aku tidak menghiraukannya. Sebulan penuh aku 'mengizinkan' Tuhan mengambil alih semuanya.

Sebulan itu Tuhan membukakan banyak hal bagiku: betapa berdosanya aku, betapa aku tidak seperti orang percaya di kantor itu, betapa banyak berhala yang orang-orang sembah di tempat kerja, dan berhalaku sendiri pun Tuhan singkapkan. Aku merasa malu dan bodoh sekali ketika menyadari hal ini, namun puji Tuhan, kasih karunia Allah cukup bagiku. Aku dipulihkan seutuhnya.

Setelah bergumul akan panggilan hidup, aku pun mulai mencari pekerjaan lagi. Puji Tuhan, Ia mencukupkan segala yang kubutuhkan. Bulan berikutnya, Tuhan memberikanku pekerjaan baru di tempat yang cukup terjangkau dari rumah sehingga aku tidak perlu menyewa kos. Jam kerja di tempat yang baru ini pun sangat sehat untukku. Tuhan memberikanku posisi di mana aku bisa mengaplikasikan ilmu dan pengalaman yang kudapatkan di kantor sebelumnya sekaligus bisa mengeksplor ilmu yang waktu kuliah dulu sangat kusukai namun tidak kupelajari secara mendalam.

Aku terjatuh begitu dalam di Sukamahi, tetapi tidak ada lubang yang terlalu dalam yang tidak bisa dijangkau oleh Dia. Ia datang dan mengulurkan tangan-Nya padaku. Aku menerima uluran tangan-Nya dan Ia mengangkatku, membersihkan luka-lukaku, merangkulku dan membawaku tinggal bersama Dia menjadi manusia baru di tempat kerja yang baru. Ia bahkan memberikan pelayanan baru kepadaku beberapa bulan setelah aku bekerja di tempat baru, di mana aku bisa melayani mahasiswa sambil belajar firman Tuhan. Sesuatu yang kupandang sebagai bagian dari rancangan Allah yang mempersiapkanku untuk panggilan hidup di masa depan.

Melihat ke belakang, aku menyadari bahwa penyertaan Tuhan sebenarnya sangat nyata selama aku di kantor itu, aku saja yang tidak benar-benar percaya dan tidak peka menyadarinya. Aku terlalu berfokus pada masalahku dan membandingkan diriku dengan orang lain hingga lupa bahwa aku punya Allah yang sejati. Sejujurnya, kupikir tidak ada alasan bagi Allah untuk menyelamatkanku yang tidak tahu diri ini. Tapi nyatanya, Ia tetap datang dan menyelamatkanku.

Beberapa pertanyaan "Kenapa?" di Malam Natal tahun 2021 sudah terjawab bagiku: Tuhan ingin aku mengalami sendiri siapa Dia dan ingin aku benar-benar mengikuti Dia dan melayani Dia dengan talenta yang Ia karuniakan. Aku terkadang masih bertanya-tanya mengapa Tuhan menghentikan mobil itu agar tidak menggilasku dari belakang. Sampai sekarang aku pun masih belum mengerti sepenuhnya, tetapi aku menyadari bahwa itu semua karena kasih. Karena kasih, Allah menyelamatkanku dan meneguhkan imanku. Karena kasih, Ia merancangkan masa depanku. Karena kasih, Ia mempersiapkanku untuk melakukan panggilan-Nya meskipun aku sama sekali tidak layak.

Aku percaya, Allah yang sama yang menyelamatkanku dari kecelakaan di Sukamahi juga akan menyelamatkanmu dari apa pun masalah yang kamu hadapi saat ini. Ia sanggup mengangkat, membasuh, dan memulihkanmu menjadi manusia baru yang utuh kembali. Karena, Ia mengasihi aku dan kamu.

christianity

Ceritaku tentang Kebencian terhadap Diri Sendiri

8:14 PM

Pernahkah kau merasa sangat membenci dirimu sendiri? Sangat, amat, membenci dirimu sendiri sampai kau menangis tiada henti, tersedu-sedu sampai kau bingung kapan harus menarik napas di tengah-tengah isak? Kesalahan di masa lalu terus-menerus merundung hatimu bagai bayangan yang tidak pernah lepas. Di satu saat bayangan itu tidak tampak, namun di saat lain bayangan itu berdiri begitu tinggi di hadapanmu sampai kau merasa sangat putus asa. Dan kesunyian di dalam kamar adalah satu-satunya hal yang dirasa menemani dirimu yang perlahan semakin ditelan oleh kesedihan.

Sobat, kau tidak sendiri. Aku juga mengalaminya. Dan mungkin, orang-orang lain di sekitarmu juga pernah mengalaminya.

Hari ini aku menangis tersedu-sedu di atas bantalku karena bayangan itu kembali muncul di hadapanku. Begitu tinggi dia berdiri sehingga gelap jalanku dibuatnya. Aku tidak bisa memandang ke depan; yang kulihat hanyalah tembok gelap keputusasaan yang terus membuatku merasa bersalah. Perasaan bersalah ini semakin lama membunuhku; sedikit-sedikit diambilnya kebahagiaanku sampai jiwa ini terasa kosong.

Tidak ada yang bisa mengerti. Sudah banyak kata-kata kubagikan kepada teman-teman di sekitarku  sebagai ungkapan hati agar setidaknya bayangan itu bergeser atau memudar sedikit. Tolonglah, aku hanya ingin bisa melihat ke depan dengan jelas! Menyingkirlah dari hadapanku! Aku ingin sekali meneriaki bayangan itu, mendorongnya, menyingkirkannya. Tetapi seperti mencoba mendorong tembok, tentu saja bayangan itu tetap bergeming sekeras apapun aku mencoba menggesernya.

Aku sadar, aku yang berkata-kata dalam cerita yang kusampaikan hanyalah aku yang berusaha mencari-cari alasan dan pembenaran. Aku mencarinya karena aku putus asa dan lelah bergelut dalam kesalahan. Dan keputusasaanku itu malah membuat bayangan itu semakin besar, merundungku ke mana-mana. Membuat rasa bersalahku semakin tersulut menjadi kepahitan yang membenci diri sendiri. Tidak ada beban yang terangkat dari hatiku; hanya terasa kekosongan yang mendalam.

Mungkin itulah masalahnya. Hatiku hampa, tetapi yang kulakukan adalah berusaha mengeluarkan isinya karena terasa menyesakkan. Aku malah berusaha mengeluarkan beban yang sebenarnya tidak pernah ada di hatiku. Kekosongan itulah yang menyesakkanku.

Dan bagaimana caranya kau mengeluarkan kekosongan? Bukankah seharusnya kau mengisinya?

Aku mencari-cari hal lain agar setidaknya kesesakan ini tidak terlalu menyiksaku. Membaca, menonton, bermain media sosial, mendengarkan musik, bercerita (ya, aku melakukannya lagi),  bermain game, semuanya kucoba. Sesaat, mungkin aku merasa sedikit lebih baik, namun di saat lain perasaan itu kembali dihisap oleh si bayangan yang membuat sesak itu.

Sampai di suatu titik aku sadar bahwa sebenarnya aku sama sekali tidak mengisi kekosongan itu. Aku lari dari padanya.

Aku lari, ke sana kemari, dalam keputusasaan mencoba kabur dari si bayangan, sempat merasa sudah lolos sebelum akhirnya bayangan itu kembali menerkamku. Rasanya lebih sesak lagi dibanding yang pertama.

Dan aku mulai terisak-isak lagi. Namun si bayangan tetap pada pendiriannya.

Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus kita lakukan? Masih bergunakah kita berharap si bayangan akan berbelas kasihan pada kita?

Tetapi bayangan hanyalah bayangan tanpa emosi apapun kecuali membatu.
Mulailah aku mengutuki diriku sendiri, menyalahkan diriku, membenci diriku sampai berharap hari ini adalah hari terakhir aku ada.

Namun setiap hari pula aku membuka mataku di atas kasur yang menatap langit-langit. Membuatku semakin membenci diri sendiri.

Sampai suatu saat aku tidak tahan lagi. Aku menangis begitu rupa, pecah begitu saja dan kata-kata mengalir begitu deras dari hatiku. Aku merindukan satu Pribadi yang aku mengaku kupercayai, namun seringkali aku gagal dalam benar-benar mempercayai-Nya.

Aku tidak tahu. Selama beberapa hari, mungkin hampir menjadi beberapa minggu, hubunganku dengan-Nya terasa kering sekali. Berdoa, saat teduh, dan ibadah menjadi formalitas belaka. Ya, aku  selalu berdoa memohon-mohon supaya aku boleh dikuatkan menghadapi si bayangan, tetapi aku merasa sepertinya Dia hanya diam saja. Aku bahkan sempat meninggalkan formalitas itu. Aku juga melakukan dosa tanpa merasa bersalah. Aku merasa sangat kosong, kering, dan sangat jauh dari Dia. Seakan-akan Dia terus memunggungiku dan tidak peduli.

Namun, aku sendiri tidak setia bersandar kepada-Nya. Aku egois mempertahankan kekosonganku, berusaha mencari-cari hal lain untuk mengisinya, namun pada kenyataannya aku hanya berlari sia-sia. Padahal sumber pengisi kekosonganku adalah Dia. Yang harus kulakukan adalah benar-benar  fokus mempercayai-Nya dan merelakan yang lainnya. Tetapi kedagingan ini selalu lebih menang. Pikiranku selalu mencari hal lain. Hatiku selalu menginginkan yang lain.

Tetapi saat itu aku berteriak, "Tuhan, keluarkan aku dari kekosongan yang perlahan mematikanku ini. Buat aku gelisah karena kesalahanku, tetapi tenangkanlah jiwaku dari bayangan penuduh yang membuatku membenci diriku sendiri."

Dan aku bersyukur, saat itu aku bisa menangis tanpa merasa kosong. Saat itu kekosonganku diisi oleh-Nya. Saat itu Dia mengusir si bayangan penuduh. Dia menawarkan kepahitanku. Dia mengubah kebencianku dengan kasih-Nya.

Tetapi tentu saja si bayangan penuduh itu tidak tinggal diam. Dia terus menerus mendatangiku kembali, menunggu untuk menyerang di saat aku lemah. Dan tentu saja, aku jatuh lagi berkali-kali. Aku kembali membenci diriku berkali-kali.

Namun, berkali-kali juga Dia mengulurkan tangan-Nya kepadaku.

Sobat, memang tidak mudah melawan kebencian terhadap diri sendiri. Aku pun masih bergumul. Saat aku menuliskan postingan ini mungkin aku sedang pada kondisi "lebih baik", namun si bayangan penuduh suatu saat akan menyerang. Tetapi tidak apa-apa. Ini adalah sebuah proses, sebuah perjalanan iman. Proses di mana kita semakin ditumbuhkan lewat kegagalan-kegagalan yang kau alami.

Alkitab berkata, "Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, bertekunlah dalam doa!" (Roma 12:12). Dan ketika kau kesulitan berdoa, ketika kau hanya merasakan kesunyian dan tidak tahu harus berkata apa, ingatlah bahwa memang "kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan." (Roma 8:26).

Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus. (Roma 8:27)

Dia tahu apa yang sebenarnya yang kita maksudkan dalam doa meskipun kita kesulitan berkata-kata dalam doa. Dia tahu apa yang menjadi kegelisahan kita meskipun saat berdoa rasanya kita hanya menjumpai kesunyian. Dia membuka tangan-Nya kepada kita di saat kita mengira Dia memunggungi kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah benar-benar percaya.

Jangan andalkan dirimu sendiri dalam memerangi kebencian terhadap diri sendiri. Aku sudah gagal berkali-kali. Aku lelah. Kau juga lelah, 'kan? Mari bersama-sama berjalan bersama Dia. Dan kalau kau belum mengenal-Nya, mari, aku bersedia menceritakan tentang Dia kepada-Mu. Mari, kita saling mendoakan, dan kau boleh kapan saja mengontakku lewat blog ini, atau melalui media sosial lain yang kau dan aku punya.

Semoga siapa pun yang membaca ini boleh terberkati. Aku mengasihi kalian semua.

Interlude

6:01 PM

Aku ingin menulis lagi.

Ya, aneh 'kan? Setelah sekian lama aku tidak menulis, disibukkan oleh berbagai hal yang aku tidak tahu pasti ke mana arahnya. Seperti tidak berarti. Seperti hanya mengikuti arus, diombang-ambingkan ke sana kemari.

Orang-orang bilang, paling enak mengikuti sistem. Ya, aku tahu mengikuti sistem itu baik, tapi untuk apa mengikuti begitu saja suatu sistem yang di mana kita terjebak di dalamnya? Untuk apa menjalaninya hanya untuk menyelesaikannya? Setelah sistem itu selesai dijalani, lalu apa?

Aku tidak mau menjadi "mati" seperti orang-orang di sekitarku.
(atau mungkin aku sendiri yang "mati"?).

Aku tidak mau berjalan menyusuri lorong-lorong waktu dengan garis akhir yang samar semaraknya. Oke, bagi orang lain mungkin garis itu garis yang semarak sekali, tetapi bagiku pribadi, aku tidak tahu.

Orang-orang mungkin berpikir aku begitu bodoh karena masih memikirkan sistem lain di mana aku sudah berada dalam suatu sistem yang cukup baik dengan garis akhir yang terjamin. Tetapi aku tidak menyukainya.

Aku merasa tempatku bukan di sistem ini.

Bukan berarti aku tidak mensyukuri sistem yang kujalani sekarang. Aku mengerti, mengikuti passion semata bukanlah tindakan yang bijak dalam keadaanku ini. Aku mensyukuri setiap proses yang membentukku dalam sistem ini. Aku mensyukuri setiap kesempatan, perubahan, teman-teman, dan perjalanan imanku. Tanpa sistem yang kujalani, aku tidak akan bisa menjadi pribadiku yang sekarang. Aku mungkin tidak akan menulis postingan ini di sini. Hanya saja aku.. tidak ingin berjalan lebih jauh lagi dalam sistem ini.

Aku tertarik sekali untuk melanjutkan pendidikanku, namun tidak dalam satu sistem yang sama. Aku ingin kembali pada passion-ku. Aku ingin menjalani lorong-lorong waktu yang baru dalam sistem yang lain.

Ya, aku ingin memulainya lagi dari awal. Membaca setiap bahan fisika yang bisa kudapat. Tergila-gila dengan penurunan rumus dan penyelesaian masalah. Belajar kalkulus dari awal lagi. Membaca setiap buku-buku fisika yang menarik. Sebut aku gila, but physics is my first love.

Aku mau S2. Aku mau sekali, kalau disuruh untuk bermimpi aku akan bermimpi melampaui langit. Hanya saja aku mungkin tidak akan melanjutkan kefarmasianku. Kalau pun iya, mungkin hanya akan menyenggol sedikit.

Aku mencintai fisika. Aku tahu itu. Mungkin mulai sekarang blog ini akan aku penuhi dengan tulisan-tulisan kontemplasiku, termasuk tentang hal ini. Yang jelas, ya, aku akan kembali menulis.

Aku akan kembali menulis.

contemplation

Aku (Sempat) Lupa Bagaimana Caranya Bersyukur

3:05 AM


Aku baru saja men-stalk akun twitter salah satu teman yang kukenal dari internet. Tidak sengaja sebenarnya, karena aku menemukan akunnya saat melihat-lihat tweet orang lain.

(Iya, aku masih bermain twitter. Iya, kadang aku suka stalking orang di internet. Maaf telah mengecewakanmu.)

Aku men-scroll profilnya dan membaca tweet-tweetnya. Tak sengaja aku menemukan tweet di mana dia mengingat kembali kematian ibunya setahun yang lalu.

Aku terkejut.
Aku terkejut karena sebelumnya aku sudah tahu bahwa ayahnya telah lama meninggal.
Yang berarti sekarang, sejak tahun lalu, dia tidak punya orang tua.
Kedua orang tuanya sudah tiada, meninggalkan dia yang masih duduk di bangku kuliah.

Aku tidak tahu apakah dia punya adik atau kakak, tapi dia tidak pernah mengunggah sesuatu yang menunjukkan bahwa ia punya saudara kandung. Mengingat dia adalah seorang ekstrovert dan lebih ke feeler daripada thinker, aku rasa dia pasti akan menunjukkan pada dunia maya tentang kehidupannya. Atau mungkin dia hanya tidak mau menunjukkan hal itu di media sosialnya, aku tidak tahu. Kami tidaklah sedekat itu untuk membicarakan hal-hal yang mendalam.

Mengetahui kondisinya yang seperti itu membuatku berpikir betapa tidak bersyukurnya aku atas keadaanku. Aku beruntung masih bisa memiliki keluarga yang utuh. Sedangkan dia telah kehilangan kedua orangtuanya, sumber kehangatan keluarga. Aku sudah terbiasa dengan cerita beberapa temanku yang hanya dibesarkan oleh salah satu orang tuanya, tetapi menjadi anak yatim piatu (dan aku asumsikan dia tidak punya seorang kakak yang sudah mapan)  di usianya yang masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi adalah hal lain.

Pastilah sulit baginya untuk menerima kenyataan bahwa ia tidak akan pernah bisa lagi pulang ke kampung halaman dengan disambut oleh orang tuanya. Sangat sulit baginya untuk menyadari bahwa orang tuanya tidak akan datang ke acara wisudanya saat ia lulus nanti. Perasaannya pastilah campur aduk, I mean, dia sudah berjuang sekuat tenaga untuk dapat diterima di salah satu kampus ternama di negeri ini, di jurusan yang sangat ketat pula persaingannya. Dia sudah membuktikan kepada semua orang bahwa dia bisa kuliah di sini, di jurusan yang dia idam-idamkan meski sangat sulit masuk ke sana karena kuotanya yang memang sedikit sekali. Dia bahkan rela mengorbankan satu tahunnya setelah lulus SMA untuk belajar khusus untuk mengejar jurusan itu.

Banyak hal yang telah ia korbankan demi dapat meraih mimpi, mengejar cita-cita lewat pendidikan yang lebih tinggi. Pastilah ia berharap dapat membuat bangga ibunya saat ia lulus nanti. Pastilah dulu dia berandai-andai bagaimana saat wisuda nanti ibunya akan datang dari kampung, membawa bunga dan memeluknya, menangis bahagia dan berseru dalam hati, "Anakku lulus dari UI!"

Namun sayangnya, hal itu tidak akan pernah terjadi karena ibunya sudah lebih dulu pergi ke tempat yang lebih indah dari dunia ini.

Sejak tahun lalu, dia harus menerima kenyataan yang pahit ini: bahwa tidak ada lagi orang tua aslinya yang dapat ia buat bangga saat lulus nanti, setelah semua pengorbanan yang ia lakukan untuk dapat meraih jurusan impiannya yang sekarang menjadi kenyataan. Ia tidak akan bisa melihat air muka bahagia orang tuanya saat menghadiri acara wisudanya. Sudah banyak pengorbanan yang ia lakukan, kenapa Tuhan begitu tega mengambil apa yang ingin sekali ia banggakan?

But I'm telling you, D, if you are reading this, Tuhan punya rencana. Gue emang gak mengenal lo secara mendalam, toh kita kenal dari internet, tapi gue percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita itu sudah direncanakan Tuhan. Bukan, bukan rencana untuk membuat lo hancur, tapi rencana yang baik, saking baiknya kita sendiri gak bisa ngebayangin, bahkan nebak aja gak bisa. Memang menyakitkan, memang menyedihkan, tapi ini bukan akhir dari segalanya. Percayalah, suatu saat nanti Tuhan sendiri yang akan membalikkan keadaanmu yang sekarang dengan kebahagiaan yang berlipat ganda, jika kamu tetap setia kepada-Nya dalam segala  kesesakan dan kesukaanmu.

Ini menjadi refleksi bagiku juga untuk tetap bersyukur atas apa yang aku punya. Aku masih punya kedua orang tuaku, meski hidup keluarga kami pas-pasan untuk ukuran orang yang tinggal di kota. Tapi Tuhan selalu menolong kami setiap kami butuh pertolongan. Banyak hal yang terjadi dalam keluargaku, kami semua diuji untuk tetap bertahan meski dalam kondisi sulit, meski banyak air mata dan sakit hati dan amarah. Tetapi Tuhan masih memelihara kami, karena kami tidak dibiarkan jatuh sepenuhnya. Pada akhirnya, hanya tangan Tuhanlah yang menolong kami keluar dari kesulitan kami.

Aku masih punya keluarga yang mengasihiku, walaupun tidak selalu dalam cara yang kuinginkan. Tetapi mereka tetap keluargaku. Mereka mengasihiku. Mereka masih hidup, utuh, setidaknya sampai saat ini. Seringkali aku bertingkah seenaknya, sometimes I take my parents for granted. Aku masih egois, namun aku masih tetap belajar untuk menurunkan egoku.

Aku juga sering kali buta akan keadaan orang lain, mungkin karena sifat egoisku juga. Aku merasa yang paling sedih, yang paling sakit dibanding orang-orang sekitarku, padahal aku tidak tahu permasalahan apa yang sedang mereka hadapi. Padahal, pasti ada orang-orang yang menanggung beban lebih berat daripada diriku. Kisah temanku D adalah salah satu buktinya. Kita tidak boleh menilai orang dari luarnya saja tanpa mengetahui kisah mereka. Mereka punya cerita sendiri yang membuat mereka menjadi diri mereka yang sekarang. Bukalah mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan tangan yang terbuka untuk menerima mereka. Dan jangan pernah, jangan pernah, meremehkan apa yang mereka hadapi, karena kita tidak tahu persis bagaimana rasanya menjadi dia. Kau tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi pada mereka. Berbuat baiklah, bersimpatilah, berilah dukungan dan berdoalah untuk menolongnya.

Dan D, jangan lupa berdoa ya. Serahkan segala hal mengganggu hati dan pikiranmu kepada-Nya, karena hanya Dia yang bisa mengerti dan menolongmu seutuhnya. Jangan lupa, dalam setiap langkah hidupmu, Tuhan punya rencana yang baik untukmu. Jangan tinggalkan Dia karena tanpa Dia, kita tidak bisa apa-apa. Semangat!

feels

Your Favorite Shade of Gray

2:31 AM


Dear you,

I still remember the moment when you took me to your grandparents's place at the countryside on last holiday. I remember you held my hand tight along the way. Your hand was strong but astonishingly soft and warm. You never let go of my hand and stroked my fingers several times. Every time you did that, I always looked up to you to find you staring right into my eyes softly, and your smile was spreading wide on your face. I thought I could spend my life forever just by looking at you.

We arrived at your grandparents's home and they hugged you tightly. They turned to me and shook my hand enthusiastically, beamed with pleasure. Your grandma was so happy that she almost jumped right into me. You laughed, the most beautiful laugh I've ever heard.

Oh, how I miss hearing that laugh coming out from your mouth.

Every morning you would woke me up and took me outside, to the mountain, to fetch some water. I always enjoyed it, that feeling when the wind blew on my face, tickled my neck that made me shiver a bit. Then you would come and took my hand, led me wander through the dark trees. I challenged you to race to the stream and sometimes you let me win intentionally.

We filled our buckets and then took some rest in a hut not far from the stream. The hut was too high for me that you had to help me to get into it. That day we sat side by side, my hand in yours. I moved my dangled legs back and forth and you stared at the sky. We were waiting for the sunrise.

"What's your favorite color?" I suddenly asked you.
You smiled and said, "That's weird."
"Weird?" I was confused.
"Yeah, you know, we've been together for almost three months but you still don't know about my favorite color," you grinned at me.
I blushed. "Well, you've always been the mysterious one."
"You are totally right about it," you chuckled. "Yours is kind of bluish, isn't it?"
"Is it?" I teased you.
"A mix of blue and green, I bet. In other word, turquoise." you said it calmly.
"How do you know that?"
"Your pupils dilate every time you see that color," you said. I raised my eyebrows. "Kidding," you laughed, "you tend to choose that color every time you buy your things."

My eyes must had widened a bit because I could see your pleasure. "I didn't know you noticed such a small thing," I tried to cover my amazement.
"Only about what I like. Or who," you teased me.
"Like me?" I fluttered.
"Do I like you?" you tried to look like a fool.
"No, you don't. You don't like me. Because if you liked me, I would punch you in the face," I crossed my arms. You laughed again.
"You are right, your ladyship, I don't like you," you said. You didn't say anything for a moment. I bet you did it for a dramatic effect. "I love you."

I was so dumbfounded that I couldn't say anything. You took my hand and pulled me closer.
"There is no pretending. I love you, and I will love you until I die, and if there is life after that, I'll love you then," you quoted Jace Herondale from City of Glass.
I burst out laughing. "Did you just quote?"
"Did I?"
"I didn't know you read The Mortal Instruments! You said you don't like reading books," I laughed harder.
"I only said I do not prefer books. Doesn't mean that I hate it," you smiled.
"Well, boy, you won. I acknowledge it," I said, my cheeks burnt because of laughing.
"I know. Because that's what I do, you know, winning." you said, pompously arrogant.
"How very kind of you," I smiled, and you leaned closer to me and my heart was beating faster..

...and then the roosters began to crow. The sun was about to rise.
"That's it!" you suddenly averted your face.
I was so confused and surprised and a bit disappointed. "What?"
"My favorite color. Look," you pointed at the upstream. I turned to the side he pointed. Then I saw it, up in the sky.
"Gray?" I asked. "You like gray?"
"Not gray, exactly. Right before the sun rises there’s a moment when the whole sky goes this pale nothing color—not really gray but sort of, or sort of white—"
"—and I’ve always really liked it because it reminds me of waiting for something good to happen," I finished it. "You quoted again. I like it."
"Of course you like it, because it's me," you gave me that teasing smile. "I agree with Lena Haloway. I'm in love with this shade of gray."

I watched you staring at the sky as the sun started to rise. The breeze blew your hair, revealing your forehead. "But now it's fading. It's sad that it only lasts for a very short time," I said.
"That's why I adore it. When you realize that something only lasts for a brief time, you will cherish it even more," you smiled softly and then turned to me. "You will be grateful for every chance that are given to you. You won't take it for granted."

In that time I could see a glimpse of sadness and pain in your face. Somehow I thought I saw you in a super excruciating agony. Somehow I just wanted to cry and help you. I wanted to take some of the pain you were carrying on your shoulder.

I know nothing lasts forever. Nothing, even us. That's why you always gave your best in every chance given. That's why you always tried to enjoy your moments; because you didn't know what would happen next. That's why you never squandered anything you got. That's why I adore you, my dear, a lot.

My dear, I love you so much. You know that I was always afraid of you leaving me, but you promised me that you would not do it. That's why I could let you go to any place you want. But this time, I just can't. You failed to keep your promise, my dear, but I know I must get over it.

In this little turquoise box, I keep you safe. I hope you don't mind keep seeing my favorite color that you had guessed correctly on that day. But now it's time to get you out of it. I know you must have been so bored in it.

My dear, I'm so sorry you can't get your favorite gray. I'm sorry that you only got this ash gray.

The roosters start to crow. The tinge of your favorite gray break the sky. I strew your ash into the stream.

feels

Help

6:31 PM



I am standing still in front of my tall mirror. I stare at my reflection from the tip of my head to the tip of my feet.

And then I start crying.

It's not beautiful, though, both of my cry and what I see in front of me. I cry like a mix of a horse and a child whining. It sounds so horrible, but I can't help it. I try so hard, forcing my mouth to keep silent but my throat keeps betraying me. I end up biting my tongue as hard as I can so that no voice is out of my lips. My blood quickly rush through the wound.

And my eyes, my eyes, are no longer can hold my tears. It's like something has wrecked the sluice in my eyes; the tears keep flowing and running down my cheeks. I blink and blink and blink, hoping it can stop the flood, but nothing's changed. I can't stop, I can't, but I really want to.

I can barely breath. My nose filled by snot and mucus, it slowly but surely tortures me. My throat tightened, leaving me gasping, struggling for oxygen. It feels like a giant hand squeeze up my stomach that I almost throw up. I feel so scared, panic, insecure that I sweat so much. I'm afraid my heart is about to explode.

Is it true?
Is it true that pain is beauty?
Is it true?
Is it true that no one cares?

My hair, my face, my body,
what did they do?
Did they do something wrong?

Should I gather all money to afford every single trend?
Should I starve myself for the sake of beauty?
Should I strain myself doing some extreme exercises?
Should I get some surgeries to "fix my face"?

Should I? Should I?
No. I know the answer is no.

Then why do I feel so empty? In this crowded place, why do I feel so distant? Why do I feel so anxious, trying to mingle with these people? Why do I keep worrying about how they see me? Why am I afraid of "being not pretty enough"? Why am I afraid of getting left behind?

Too many why.

I'm sick.
I'm scared.

I take a lipstick on the dresser. It is the lipstick that I bought with all of my allowance. I take it and come back in front of the mirror.
Help, I write.

Then I punch it and punch it, over and over again, until it shatters all around me.
Help, I cry.

feels

Jika Kau Ingin Menangis

5:59 PM


Jika kau ingin menangis,
jangan izinkan orang melihat

Jika kau ingin menangis,
hiruplah napas dalam-dalam
redakan panas yang membara di dadamu
biarlah udara menenangkan gemetarmu

Jika kau ingin menangis,
tutuplah mulutmu rapat-rapat
jangan biarkan sendumu keluar
kencangkan rahangmu
gigitlah bibirmu
biarlah darah mengalir
asal jangan tangis yang mengalir

Jika kau ingin menangis,
kepalkan tanganmu kuat-kuat
biarlah sampai gemetar
biarlah kuku-kuku menancap
biar sakit menahan panasnya mata

Jika kau ingin menangis,
pejamkan mata rapat-rapat
tahan napas
jangan lakukan
jangan biarkan menetes

(karena sudah terlalu banyak yang menetes)